Sekolah Berbahasa Inggris, Perlukah?

Sekolah Berbahasa Inggris, Perlukah?
Untuk : Mater Dei School, Probolinggo
Oleh : Brother Ray

Dewasa ini Bahasa Inggris sudah diterima sebagai Bahasa Internasional yang 

terkemuka karena dianggap menjadi sarana komunikasi terpenting masyarakat 

Indonesia untuk merespon tuntutan kemajuan zaman. Untuk itulah bahasa Inggris 

sudah diperkenalkan secara luas mulai usia dini baik di sekolah-sekolah formal 

maupun non-formal.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa usia dini merupakan usia paling peka belajar bahasa. Maka atas dasar itulah pengajaran Bahasa Inggris untuk 

anak-anak usia dini mulai TK dan Sekolah Dasar sudah secara luas ditawarkan di berbagai sekolah di perkotaan termasuk di Kota Semarang. Terlepas dari masih 

adanya pro dan kontra pertimbangan didaktis mengenai pembelajaran bahasa 

mulai usia dini ini, kebutuhan semacam itu sudah diterima oleh sebagian besar masyarakat.

Persoalannya adalah bahwa pengajaran Bahasa Inggris untuk kelompok 

usia semacam ini menuntut penanganan khusus yang berbeda dengan

 pengajaran kepada kelompok umur yang lain. Ini terbukti dari kenyataan

 bahwa tidak semua guru mampu dan berhasil mengajar anak-anak. Boleh

 jadi karena dalam mengajar anak dibutuhkan kemampuan menyelami dunia 

anak dan kemampuan memasuki dunia mereka yang masih sangat imajiner.

Dewasa ini kebebasan setiap institusi untuk berkembang sesuai potensi

yang ada telah memungkinkan pengajaran anak dikembangkan secara 

maksimal dengan teknik mengajar anak yang digali dari berbagai sumber 

baik dari buku, saling bertukar pengalaman maupun dari seminar 

dan lokakarya.

Selain itu, saat ini pengajaran untuk semua bidang studi diwajibkan untuk 

menerapkan kurikulum berbasis kompetensi yang belakangan ini berganti

lagi menjadi kurikulum KTSP (istilah blogger guru KaTe SiaPe…), tidak

terkecuali pengajaran Bahasa Inggris yang di dalamnya mensyaratkan

penekanan pada aspek komunikatif, tugas-tugas penunjang kemampuan 

komunikasi, perimbangan analisis situasional yang realistik, pemakaian 

materi yang otentik, penekanan tugas kelompok, dsb.

Berdasarkan realitas tersebut Fakultas Sastra Unika Soegijapranata

memandang perlu untuk membuat kelanjutan dari workshop kedua tahun

2005 dengan menyelenggarakan workshop bagi para tenaga pengajar Bahasa

Inggris untuk tingkat TK, SD, SMP maupun pengajar Kursus Bahasa Inggris di

sekitar kota Semarang ini dengan harapan terbentuk sebuah forum guru yang 

kelak bisa saling tukar menukar pengalaman dan membuka perspektif baru

dunia pengajaran Bahasa Inggris usia dini sehingga semakin

memperkaya dan meningkakan kualitas pengajaran di masing-masing 

institusinya.

Kegiatan ini bertujuan untuk:
Memberikan pengetahuan bagi para pengajar Bahasa Inggris untuk anak usia dini tentang pemakaian dan manfaat lagu-lagu untuk meningkatkan pemahaman anak 

akan arti kata. Melalui lagu, anak diperkenalkan pada suprasegmental phonetics

 yang akan membantu anak melewati tahapan pemahaman menuju verbal output yang

 sempurna.
Memberikan pengalaman kepada para pengajar Bahasa Inggris untuk menggunakan lagu melalui praktek simulasi kelompok.
Memberikan kesempatan kepada para peserta untuk mendapatkan umpan balik dan masukan perbaikan dari nara sumber yang kompeten dalam mengaplikasikan lagu-lagu di kelas bahasa Inggris Pembicara dan Penyaji Workshop

Dengan kasat mata pun kita bisa melihat bahwa Korea telah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Pendidikan tentu merupakan salah 

satu energi utama kesuksesan ini. Dengan sistem yang tak jauh berbeda dengan Indonesia, di mana sekolah tidak gratis, para orang tua di Korea berusaha

mati-matian untuk bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Paradigma

pendidikan di Korea pun bisa dikatakan mirip dengan kita. Bidang-bidang 

eksakta masih dianggap berstatus tinggi, profesi medis pun jadi obesesi, dan gelar sarjana sangat menentukan tingkat gaji, kemudahan karir, bahkan pencarian jodoh. Mirip kan dengan kita? Hanya saja itu tadi, pengorbanan mereka sampai 

keringat kering. Orang tua akan melakukan apa saja agar anak-anak mereka

bisa tetap bersekolah tanpa harus bekerja sampingan 

(karena biaya hidup tidak murah). Bayangkan saja, dengan luas negara yang 

hanya sedemikian, pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang tinggi, 

tak heran tiap individu begitu kerasnya berusaha. Ujian masuk universitas

 (SPMB) sudah begitu mewahnya. Bahkan katanya, ujian masuk SMA saja 

sudah cukup bergengsi. Karena mereka tak main-main, output yang dihasilkan

 pun bukan main jadinya.


Masalahnya, persaingan selalu ada dan bahkan semakin meningkat setiap saat. Di era sekarang ini mereka tidak hanya bersaing dengan sesama orang Korea, tapi juga orang-orang dari seluruh dunia. Mungkin analogi saya sedikit imajiner, tapi biarlah. Kasarnya seperti ini: dengan gaya yang sama, permukaan yang lebih kecil akan menghasilkan tekanan yang lebih besar, P = f/A. Masih ingat fisika, kan? Mungkin hukum ini berlaku juga di masyarakat. Dengan wilayah yang hanya 99,646 km persegi (bandingkan dengan pulau Jawa 126,700 km persegi - data Wikipedia), wajar jika tekanan yang mereka rasakan lebih besar daripada tekanan yang dirasakan Amerika Serikat dengan ambisi pendidikan yang sama. Meski menyedihkan, tak cukup mengherankan bila tingkat bunuh diri siswa cukup tinggi. Bayangkan, yang bunuh diri itu masih siswa, bukan rocker yang kecanduan drugs.

Tekanan yang besar dirasakan juga pada bidang bahasa Inggris. Mereka sadar bahwa kompetensi internal harus juga bisa bersaing di tingkat internasional. Akibatnya, ambisi dan obsesi semakin menjadi. Pendidikan sudah menjadi obsesi nasional di Korea, kini bahasa Inggris. Ambisi ini antara lain terwujud dalam lirik lagu yang sudah banyak menyisipkan bahasa Inggris, pemberian judul film (meski percakapannya memakai bahasa Korea), sampai variety show yang diikuti artis-artis yang mempunyai segment bahasa Inggris (misal, Speed English di acara Star Golden Bell). Kini, para orang tua pun mulai mempersiapkan balita mereka agar globally competitive. Di bawah usia 5 tahun anak-anak ini sudah duduk di depan tutor mereka, mendengarkan pelajaran bahasa Inggris dalam bahasa Inggris. Balita di Indonesia ngapain, ya?

Di usia SMA mereka biasanya mempunyai tutor privat dan diharapkan sudah siap

 dengan kemampuan bahasa Inggris mereka. Obsesi bahasa Inggris ini sendiri sudah menciptakan suatu pasar baru. Lembaga kursus bahasa Inggris dengan native speaker, tutor privat, sampai TK bahasa Inggris jadi trend. Yang cukup membuat saya ngowoh adalah biaya TK berbahasa Inggris berkisar $1000 per bulan. Seperempat sampai sepertiga gaji bulanan middle class di Amerika hanya untuk biaya TK? Biaya yang para orang tua ini keluarkan dalam setahun dikabarkan melebihi anggaran pemerintah untuk pendidikan. Tapi jangan bandingkan dengan anggaran pemerintah kita tercinta. Belum lagi camp yang berjalan mulai dari hitungan minggu sampai bulan di English Village, sebuah kota yang sengaja dibangun untuk menciptakan nuansa luar negeri dengan berbahasa Inggris lengkap dengan imigrasi, kantor polisi, hotel, perpustakaan, teater, dan kafe-kafe. Katanya, bila ketahuan berbicara dalam bahasa selain Inggris bisa kena denda.

Belum cukup sampai di situ, pasar terus berkembang. Mengetahui animo para orang

 tua yang besar, kini meningkat pula praktek operasi lidah oleh para dokter bedah

 Korea. Kalau di showbiz ada Dokter Plastik, di dunia pendidikan (bahasa Inggris)

 ada Dokter Lidah. Para dokter ini mengatakan (setelah riset) bahwa lidah orang

 Korea secara genetik sulit mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris, 

terutama lafal L atau R yang memang sedikit rolling. Bagaimana ya, agak susah mengungkapkannya, seperti pengucapan” radio” dalam bahasa Inggris. Jadi,

 seperti sunat, lidah anak-anak kecil ini dioperasi 

(dipotong sedikit bagian bawah lidah) 

sehingga menjadi lebih bebas bergerak. Perubahan memang ada 

(they’d better be different karena memang dioperasi), tapi sampai sejauh inikah?

Lagi-lagi Korea mengalami perubahan lanskap bisnis yang fenomenal. Merasa ada kesamaan antara dunia hiburan dan pendidikan di Korea dalam perubahan lanskap bisnis? Tampaknya para dokter sedang memegang kendali di balik layar?



Referensi : Dari beberapa blog bahasa Inggris dan pemikiran penulis sendiri

 sebagai teacher, trainer, dan Linguist Terapan.



Medio September 2008,
Penulis adalah CEO raypro Language Consulting, Jakarta.

For Seminar & Workshop :
Contact Person : Ramot Simanjuntak, SS
0813.8686.4167
021-80229257